Selasa, 06 November 2012

KEHILANGAN DUKA CITA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya.
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004).
Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kehilangan
2.1.1 Definisi kehilangan
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
1. Arti dari kehilangan
2. Sosial budaya
3. kepercayaan / spiritual
4. Peran seks
5. Status social ekonomi
6. kondisi fisik dan psikologi individu




Dampak kehilangan:
1. Pada masa anak-anak, kehilangan akan dapat mengancam kemampuan seseorang untuk berkembang, kadang kadang akan timbul regresi serta rasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian
2. Pada masa remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat menyebabkan disitegrasi dalam keluarga
3. Pada masa dewasa tengah, kehilangan khususnya kematian pasangan hidup, dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan dapat menghilangkan semangat hidup orang yang ditinggalkan.

2.1.2 Tipe Kehilangan
Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:
1. Aktual atau nyata
Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / di cintai.
2. Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya; seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun.

2.1.3 Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
1. Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.


2. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
3. Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
4. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
5. Kehilangan kehidupan/ meninggal
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
2.1.4 Rentang Respon Kehilangan
Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance
1) Fase denial
a) Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b) Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c) Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
2) Fase anger / marah
a) Mulai sadar akan kenyataan
b) Marah diproyeksikan pada orang lain
c) c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d) d. Perilaku agresif
3) Fase bergaining / tawar- menawar.
a) Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan saya “ seandainya saya hati-hati “.
4) Fase depresi
a) Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b) Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5) Fase acceptance
a) Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b) Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, akhirnya saya harus operasi “

2.2 Berduka
2.2.1  Definisi berduka
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
2.2.2 Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
Penyangkalan (Denial)
Reksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak, mengerti, atau  mengingkari kenyataan bahwa kehilangan benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang tua keluaraga dari orang yang menerima diagnosis terminal akan terus berupaya mencari informasi tambahan.
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangsis, gelisa, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berlangsung dalam beberapa menit hingga beberapa tahun.
Kemarahan (Anger)
Pada tahap Ini Individu Menolak Kehilangan . Kemarahan Yang Timbul Sering Diproyeksikan Kepada Orang Lain atau dirinya sendiri .Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menujukan perilaku agresif ,berbicara kasar,menyerang orang lain,menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respons fisik yang sering terjadi,antara lain muka merah,denyut nadi cepat,gelisah,susah  tidur,tangan mengepal,dan seterusnya.
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.
Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat dan mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau teran-terangan seolah-olah kehilangan tesebut dapat di cegah. Indifidu  mungkinberupaya untuk melakukan  tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
Depresi (Depression)
Pada tahapan ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri,kadang-kadang bersikap sangat penurut,tidak mau bicara ,menyatakan keputusasaan,rasa tidak berharga ,bahkan bisa muncul keinginan bunuuh diri.Gejala fisik ysng di tujukan,antara lain menolak mankanan,susah  tidur letih,turunya dorongan  libido,dan lain-lain.
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
Penerimaan (Acceptance)
Tahap ini berkaitan  dengan reorganisasi persaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu  telah menerrima kenyataan kehilangan yang di alaminya dan mulai memandang ke depan. Gambaran tentang obyek atau orang  yang hilang akan mulai di lepaskan  secara tahap.perhatiannya akan beralih pada objek yang baru.Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan nenerima dengan prasaan damai ,maka dia dapat mengakiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas.
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
3. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
4. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.



PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
ENGEL (1964) KUBLER-ROSS (1969) MARTOCCHIO (1985) RANDO (1991)
Shock dan tidak percaya Menyangkal Shock and disbelief Penghindaran
Berkembangnya  kesadaran Marah Yearning and protest
Restitusi Tawar-menawar Anguish, disorganization and despair Konfrontasi
Idealization Depresi Identification in bereavement
Reorganization / the out come Penerimaan Reorganization and restitution akomodasi

Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas dukacita yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan, dan Harper (1987) merancang tugas dalam akronim “TEAR”:
1. T = untuk menerima realitas dari kehilangan
2. E = mengalami kepedihan akibat kehilangan
3. A = menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda, atau aspek diri yang hilang
4. R = memberdayakan kembali energi emosional kedalam hubungan yang baru
Tugas ini tidak terjadi dalam urutan yang khusus. Pada kenyataannya, orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan, atau hanya satu atau dua yang menjadi prioritas. Perawat dapat membantu klien dan keluarganya dalam memahami dan berupaya melewati tugas ini ketika tugas tersebut sesuai dengan situasi unik mereka.
Respon dukacita khusus:
Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan dan pengenalan psikososial. Hal ini dimulai dalam merespon terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan yang berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa mendatang. Dukacita yang adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang menpunyai efek jangka panjang terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus eritomatosus sistemik. Klien mungkin merasa sangat sehat ketika didiagnosis tetapi mulai berduka dalam merespons informasi tentang kehilangan dimasa yang akan datang yang berkaitan dengan penyakit.
Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang tidak atau tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang luas, atau didukung secara sosial. Dukacita mungkin terselubung dalam situasi dimana hubungan antara yang berduka dan meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal. Dukacita ini dapat mencakup teman, pemberi perawatan dan rekan kerja atau hubungan non-tradisional.
Jenis duka cita:
1. Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. (misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara
2. Berduka antisipatif, yaitu proses’melepas diri’ yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai  proses perpisahan dan menyelesaikan berbagai urusan dunia sebelum ajalnya tiba.
3. Berduka rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ketahap berikutnya, yaitu tahap berduka normal
4. Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka, contohnya kehilangan pasangan hidup karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua tiri.













Rencana Tindakan keperawatan
TAHAP TINDAKAN KEPERAWATAN
Mengingkari Jelaskan proses berduka
Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Mendengarkan dengan penuh perhatian
Secara verbal dukung pasien,tapi jangan dukung pengingkaran yang dilakukan
Jangan bantah pengingkaran pasien,tetapi sampaikan fakta
Teknik komunikasi diam dan sentuhan
Perhatikan kebutuhan dasar pasien

Marah Dorong dan beri waktu kepada pasien untuk mengungkapkan kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan
Bantu pasien atau keluarga untuk mengerti bahwa marah adalah respon yang normal karena merasakan kehilangan dan ketidakberdayaan
Fasilitasi ungkapan kemarahan pasien dan keluarga
Hindari menarik diri dan dendam karena pasien /keluarga bukan marah pada perawat
Tangani kebutuhan pasien pada segala reaksi kemarahan nya.

Tawar-menawar Bantu pasien untuk mengidentifikasi rasa bersalah dan rasa takutnya
Dengarkan dengan penuh perhatian
Ajak pasien bicara untuk mengurangi rasa bersalah dan ketakutan yang tidak rasional
Berikan dukungan spiritual
Depresi Identifikasi tingkat depresi dan bantu mengurangi rasa bersalah
Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan kesedihannya
Beri  dukungan non verbal dengan cara duduk disamping pasien dan memegang tangan pasien
Hargai perasaan pasien
Bersama pasien bahas pikiran negatif yang sering timbul
Latih pasien dalam mengidentifikasi hal positif yang masih dimiliki


Penerimaan Sediakan waktu untuk mengunjungi pasien secara teratur
Bantu klien untuk berbagi rasa ,karena biasaanya tiap anggota tidak berada ditahap yang sama pada saat yang bersamaan.
Bantu pasien dalam mengidentifikasi rencana  kegiatan yang akan dilakukan setelah masa berkabung telah dilalui.
Jika keluarga mengikuti proses pemakaman,hal yang dapat dilakukan adalah ziarah (menerima kenyataan),melihat foto-foto proses pemakaman


DAFTAR PUSTAKA

http://nerseducation.blogspot.com/2012/02/konsep-kehilangan-duka-cita-penyakit.html
http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/21/asuhan-keperawatan-kehilangan-dan-berdukahttp://bangeud.blogspot.com/2012/01/proses-keperawatan-jiwa.htmlhttp://mhapasaribu.blogspot.com/2012/07/askep-kehilangan-dan-berduka.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar